Kamis, 04 Desember 2014
Sistem Moneter dalam Ekonomi Politik Internasional
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, ekonomi politik internasional mulai menampakkan perkembangannya dengan kemunculan sistem ekonomi dan finansial yang ditandai dengan terbentuknya Bretton Woods System (BWS) (Helleiner, 2008; 213). Di dalam perkembangannya, geliat perdagangan serta investasi telah memperlhatkan dinamikanya sejalan dengan sistem moneter yang turut berupaya untuk senantiasa mengatur kestabilan dan nilai kurs yang berpengaruh pada tidak hanya ekonomo internasional, tetapi juga ekonomi domestik di dalam suatu negara. BWS telah tercatat memberikan peran pentingnya di dalam ekonomi politik internasional, khususnya dalam sistem ekonomi dan finansial melalui pembentukan Bank Dunia (Peet, 2003: 111).
Bank Dunia yang merupakan agen pembangunan yang memiliki fungsi utama dalam memberikan pinjaman jangka panjang kepada negara-negara berkembang agar dapat merekonstruksi kondisi keuangan mereka setelah perang. Hal ini pun tercantum di dalam misi Bank Dunia yang menyatakan bahwa impian dari Bank Dunia adalah dunia tanpa kemiskinan (Helleiner, 2008: 220). Bank Dunia terpecah ke dalam 5 (lima) institusi yang memiliki fungsi berbeda, yang pertama adalah International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dengan fungsinya sebagai pemberi pinjaman bagi pembangunan, pinjaman jaminan, dan pemberi bantuan penasihat atau advisory serta bantuan analisis. Kedua, International Development Association (IDA), berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada negara-negara yang tidak memiliki kredit di dalam pasar finansial. Yang ketiga adalah International Finance Corporation (IFC), yang memeiliki fungsi sebagai sumber pinjaman multilateral bagi sektor privat yang ada di negara berkembang. Keempat, Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), dengan fungsi sebagai penyedia asuransi investasi. Dan yang terkahir adalah International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang merupakan pemberi fasilitas bagi penyelesaian sengketa investasi yang terjadi antara pemerintah dengan investor asing (Peet, 2003: 111-2).
Bank Dunia yang bermarkas di Washington DC, pada awal didirikannya organisasi ini, kursi kepemimpinan diduduki oleh James D. Wolfenshon. Sama halnya dengan IMF, terdapat 184 negara yang bergabung di dalam keanggotaan Bank Dunia. Namun kini sesuai catatan Bank Dunia, terdapat 4 negara tambahan yang menjadi anggota Bank Dunia, sehingga total anggotanya kini adalah 188 negara (web.worldbank.org).
Di dalam sejarah pembentukan Bank Dunia, BWS tentu saja menjadi tonggak awal bagi terbentuknya institusi-institusi ekonomi internasional lainnya yang tidak terlepas pula dari peran Amerika Serikat (AS). AS tercatat sebagai pemberi modal dalam pengembangan Bank Dunia sendiri, karena seperti yang diketahui bahwa pada saat itu, Amerika merupakan hegemon di dalam sistem ekonomi politik internasional. Dikarenakan AS memiliki sumbangsih yang besar terhadap pembentukan Bank Dunia, secara otomatis AS mendominasi atau memberikan pengaruh yang besar pada struktur, kebijakan, dan keputusan Bank Dunia (Peet, 2003: 113). Sebenarnya, Bank Dunia pada awal didirikannya, pada tahun 1940-an memiliki tujuan untuk membantu negara-negara Eropa untuk merekonstruksi pembangunannya pasca perang melalui pinjaman-pinjaman. Tetapi memasuki tahun 1950-an, pemberian pinjaman ini tidak lagi terpusat ke negara-negara Eropa, namun juga mencapai negara-negara berkembang melalui upaya menarik investor swasta, seperti Wall Street (Peet, 2003: 114). Terlebih ketika A.W. Clauson menjabat sebagai presiden Bank Dunia pada tahun 1981, pemberian bantuan pinjaman kepada negara berkembang kemudian menjadi fokus utama dari institusi ini. Clauson memimpin Bank Dunia setelah McNamara turun dari jabatannya, Clauson memandang kemiskinan yang ada di dunia menjadi faktor pendorong bagi diberlakukannya kebijakan makro-ekonomi, stabilisasi, dan penyesuaian neraca pembayaran. Perpidahan tangkub kepemimpinan ini agaknya semakin melibatkan aspek politik di dalam kebijakan Bank Dunia selanjutnya (Peet, 2003: 122). Melalui kebijakan reformasi struktural, Bank Dunia berupaya untuk mewujudkan program-programnya bagi negara berkembang. Dengan cara structural adjustment loan dan sector adjustment loan, Bnak Dunia mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada kebijakan ekonomi makro dan perubahan kelembagaan di dalam negara serta kebijakan sektoral (Peet, 2003: 123).
Untuk mewujudkannya, dibutuhkan komitmen yang kokoh di dalam organisasi guna menjaga keberlangsungan reformasi struktural yang telah diupayakan. Namun tidak hanya komitmen saja, program reformasi ini pun harus bersifat fleksibel agar dapat menyesuaikan dengan situasi nasional juga internasional. Kerjasama dengan pmerintah lokal pun menjadi penting agar Bank Dunia dapat menerapkan program-program yang sesuai dengan negara yang diberi bantuan. Bank Dunia mengharapakan dengan adanya reformasi struktural ini akan mampu mengubah kehidupan negara berkembang yang diidentikkan dengan kemiskinan (Peet, 2003: 124). Melalui Bank Dunia, beberapa kebijakan seperti kebijakan perdagangan pun dilakukan guna mendongkrak tingkat kemampuan bersaing dalam skala internasional, menstabilkan kurs atau nilai maata uang, mengurangi tarif dan mensubstitusi pembatasan kuantitatif, membantu merumuskan strategi bagi negara berkembang, dan menjadi pendorong bagi negara berkembang agar senantiasa meningkatkan perekonomiannya. Kemudian kebijakan stabilisasi ekonomi makro juga diberlakukan meminimalisir pengeluaran publik. Dan kebijakan komplementer merupakan kebijakan yang diberlakukan dalam rangka meningkatkan alokasi sumber daya, diantaranya adalah regulasi investasi (Peet, 2003: 124). Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dinamika ekonomi politik internasional telah ditandai dengan berdirinya BWS pasca Perang Dunia yang kemudian turut melahirkan berbagi institusi yang bergerak dalam sistem moneter dan finansial, salah satunya adalah Bank Dunia. Bank Dunia merupakan institusi yang berdiri sebagai agen bagi pembangunan atau rekonstruksi kondisi keuangan negara-negara, yang kini juga berfokus pada negara berkembang Melalui pinjaman bantuan jangka panjang, serta penerapan kebijakan-kebijakan oleh Bank Dunia, diharapkan negara berkembang mampu meningkatkan perekonomiannya. Namun yang perlu dianalisis lebih lanjut sebenarnya adalah peran Bank Dunia ini sendiri yang didominasi oleh negara-negara besar apakah menolong atau malah membuat negara berkembang semakin tidak bisa berdiri sendiri dan semakin bergantung dengan negara besar.
Referensi :
Helleiner, Eric. 2008. “The Evolution of the International Monetary and Financial System”, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press, hal.213-240 Peet, Richard. 2003. “The World Bank”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO. London: Zed Books, pp. 111-145 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTABOUTUS/0,,contentMDK:22427666~menuPK:8336899~pagePK:51123644~piPK:329829~theSitePK:29708,00.html, diakses pada tanggal 21 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar