Kamis, 04 Desember 2014

Dari Gold Standard menuju Sistem Ekonomi Bretton Woods: Institusionalisasi dalam Ekonomi Politik Internasional


            Tahun 1944 merupakan awal mula perjanjian Bretton Woods, pada tahun ini perjanjian ini ditandatangani dan pada mengarahkan pada terbentuknya institusi-institusi ekonomi internasional seperti Bank Dunia, IMF, GATT, dan OECD. Amerika Serikat sebagai pencetus sistem ini memiliki tujuan untuk membuat perekonomian dunia liberal melalui sebuah lembaga yang dapat dikendalikan. Sistem ini membawa dampak baik pada perekonomian kala itu, seperti terbentuknya kestabilan harga dan menurunnya tingkat pengangguran. Yang terkena dampak baik dari sistem ini, salah satunya adalah Eropa Barat yang tercatat mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat bagi pendapatan perkapitanya (Frieden,2006:278).
            Selain Eropa Barat, Jepang merupakan negara yang mendapat keuntungan dari adanya sistem Bretton Woods. Kelembagaan ekonomi ini dimanfaatkan Jepang sebagai sarana untuk mempelajari bagaimana membangun industri dan menjadi aktor penting di dalam perdagangan dunia. Tercatat pada periode 1950-1960an, perusahaan-perusahaan Jepang banyak mengeluarkan biaya untuk melakukan penelitian serta pembelian teknologi karena Jepang banyak mengadopsi teknologi-teknologi dari luar dalam memproduksi barang yang didukung oleh murahnya upah buruh. Frieden mencotohkan Sony, Honda, dan Toyota, yang merupakan contoh perusahaan yang dengan suskes mengadopsi dan mengadaptasi cara Amerika dalam memproduksi barang, hal ini terbukti memberikan kesusksesan tersendiri bagi Jepang (Frieden,2006:279-280).
            Keberhasilan Jepang dalam perindustrian manufaktur ini tidak terlepas dari adanya subsidi dan pinjaman murah. Dan karena mata uang Jepang terbilang lemang, maka pemerintah Jepang juga mendorong sektor ekspornya, hal tersebut membuat barang-barang Jepang kompetititif di dalam ranah perdagangan internasional, dan tentu sektor ekspor ini memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan di Jepang. Pada periode keemasan Jepang ini, pada sekitar akhir tahun 1950-an, Jepang mampu mengekspor produk-produknya seperti radio yang diproduksi oleh Sony, ke pasar Ameriak Serikat. Tidak hanya radio, namun motor dan mobil yang diproduksi oleh Honda dan Toyota merupakan beberapa bukti kesuksesan JEpang dalam menembus perdagangan internasional. Negara-negara Eropa Barat, Jepang dan Amerika Serikat pada masa ini memiliki jarak GDP yang tidak terlampau jauh (Frieden,2006:281).
            Peralihan dari industri agrikultur menuju industri manufaktur dan jasa ini dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Jepang karena prospeknya yang lebih baik. Seperti yang diketahui, Jepang tidak memiliki sumber daya alam yang begitu baik bagi perkembangan industri agrikulturnyam sehingga perpidahan menuju industri manufaktur menjadi alterrnatif yang cemerlang bagi peningkatan perekonomian nasional Jepang. Kemajuan perekonomian di dua kawasan ini  mendorong adanya keinginan Amerika Serikat untuk berinvestasi. Kenyataannya, ketertarikan AS pada pasar luar negeri, seperti ekspor dan impor, dimulai setelah Perang Dunia II. Sebelumnya AS tidak memiliki ketertarikan terhadap perdagangan luar negeri. Adanya perusahaan multinasional AS yang memiliki tekonologi, teknik pemasaran dan manajemen yang baik ini memberikan kontribusi bagi berkembangnya perekonomian dan perindustrian dunia. Adanya integrasi komersial, perluasan perusahaan multinasional, dan terlhatnya pertumbuhan ekonomi membuat BWS menjadi sebuah sistem yang berhasil (Frieden,2006:283).
            Keberhhasilan BWS dalam menciptakan perdagangan yang liberal juga ditandai dengan terbentuknya The new European Coal and Steel Community (ECSC) oleh Jean Monnet. Monnet merupakan seorang pria Prancis yang melihat bahwa perekonomian dunia berada sangat didominasi oleh AS dan Eropa tidak akan dapat menandingi tanpa adanya pasar, korporasi, dan sebagainya. Untuk itu Monnet berinisiatif untuk mendirikan ECSC pada 1952 yang beranggotakan negara-negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, Itali, Belgia, dan Belanda. Dan pada tahun 1972, inggris, Denmark, dan Irlandia turut bergabung dalam ECSC. Monnet sangat cermat dalam mengamati keadaan bisnis AS, ia sangat pro dengan ekspor sebagai bentuk internasionalisme ekonomi, selai itu Monnet juga menajalin hubungan dan membentuk networking dengan para pebisnis, politisi, hingga banker. Monnet kerap berperan sebagai konsultan bagi penasihat keuangan presiden AS kala itu (Frieden, 2006: 283-287).
            Implikasi BWS dalam meliberalisasi perdagangan dunia ditandai dengan adanya perdagangan bebas, satbilnya nilai mata uang, serta tingkat investasi di pasar internasional yang tinggi. Dan GATT, yang terbentuk pada tahun 1947 menjadi sebuah pilar bagi tatanan perdagangan internasional kala itu. Diikuti oleh 23 negara, GATT merupakan sebuah institusi internasional yang bertujuan untuk menerapkan pengurangan tarif perdagangan. Pada tahun 1967, tercata hampir seluruh negara industri menghapuskan tarif perdagangan pada sektor non-agrikulturnya. Hal ini diterapkan bagi sesama anggota GATT (Frieden,2006:288-290). Selain GATT, IMF hadir sebagai sebuah suatu sistem moneter yang ditawarkan BWS dengan pembatasan pergerakan modal jangka pendek di perbatasan oleh pemerintah. Hal ini ditujukan untuk menstabilkan nilai mata uang dengan model fixed exchange rate. Dan peningkatan investasi internasional jangka panjang didukung oleh BWS melalui Bank Dunia (Frieden,2006:290-292).
            Dapat disimpulkan dari paparan di atas bahwa BWS menjadi sebuah tanda akan perekonomian internasional yang tidak hanya didorong oleh faktor ekonomi, namun juga politik melalui kelembagaan atau institusi ekonomi internasional. Adanya integrasi ini tentu tidak haya semata-semata atas dasar motif politik, namun juga terdapat motif ekonomi. Sebelum BWS lahir, perekonomian dunia didominasi oleh Inggris, samapi pada akhirnya AS menggantikan Inggris sebagai dominasi kekuatan ekonomi dunia pasca berakhirnya Perang Dunia II. Gold standard yang dahulu diterapkan telah terbukti memicu ketidakstabilan nilai mata uang di dalam sebuah kerangka sistem imperialisme. Adanya Great Deperession juga semakin menekan Inggris untuk mundur dari dominasinya dan mulai melihat AS sebagai sebuah dominasi baru di dalam perekonomian internasional karena kemampuannya dalam menangani sektor ekonomi serta politik di wilayahnya. Hal tersebut mendorong terbentuknya BWS dengan institusi-institusi turunannya seperti IMF, Bank Dunia, dan kini WTO sebagai bentuk ekoomi liberal yang bertujuan meningkatakan kemakmuran dan menjaga kestabilan perekonomian dengan aturan-aturan yang mengikat negara-negara dunia.

Referensi:

Frieden, Jeffrey A. 2006. The Bretton Woods System in Action, dalam Global Capitalism: Its Fall and Rise in The Twentieth Century. New York: W. W. Norton & Co. Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar