Kamis, 04 Desember 2014

serat wedatama


WEDHATAMA

Serat Wedhatama, serat=kitab, wedha=pengetahuan, tama=utama. Jadi, Serat Wedhatama bermakna Kitab Pengetahuan yang Utama, untuk dapat kiranya memiliki budi atau jiwa yang utama/luhur bagi setiap kehidupan insan di dunia. Serat ini berbentuk puisi (tembang) yang tersusun dalam 100 bait (padha) ditulis oleh (KGPAA) Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagoro IV di Surakarta pada tahun 1905 Jawa atau 1973 Masehi dengan dua sengkalan, yaitu Candrasengkala untuk tahun 1905 Jawa berbunyi: “Lunguding Kamukswan Ambabar Wiji”, sedangkan Suryasengkala untuk tahun 1973 Masehi adalah: “Cahyaning Piwulang Ambuka Budi”.


Terjemahan bebas:
1
Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

(Menjauhkan diri dan menghindar dari sifat yang mementingkan diri pribadi. Karena kegemaran memberi pengetahuan dalam mendidik para putra, sambil mendendangkan sebuah kidung yang menjauhkan diri dari hawa nafsu. Sedang lagu yang digubahnya dengan baik itu, dihiasi kata-kata indah yang menyenangkan. Tujuannya agar ajaran budi luhur itu meresap di dalam hati/kalbu, yang memiliki daya pengaruh pada pembentukan watak dan budi pekerti. Sesuai dengan dasar kejiwaan untuk diterapkan di tanah Jawa, yakni agama yang menjadi pegangan raja dalam melaksanakannya dengan baik)

2
Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

(Dicantumkan sebagai pokok ajaran di dalam Wedhatama ini, untuk tidak henti-hentinya diresapi. Walaupun sampai lanjut usia, yang lajimnya mudah sekali khilaf, apabila tidak memahami perasaan sejati akan sepi dari pengertian dan perasaan yang paling dalam. Ibaratnya ampas tebu sehingga jiwanya hampa hanya angan-angan belaka, yang tingkah lakunya tidak menyenangkan dan memalukan)

3
Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

(Biasanya pribadi manusia selalu menuruti kemauannya sendiri. Apabila berbicara tidak pernah mempertimbangkan tempat dan dengan siapa. Tidak mau dikatakan bodoh, sebaliknya selalu ingin dipuji. Namun bagi orang yang arif akan pancaran rona, biasanya secara samar-samar menyembunyikan apa yang sedang dipikirkannya. Dalam percakapannya, ia akan selalu menjawab pertanyaan dengan berbicara yang manis)

4
Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

(Si pandir tidak merasakan sikap orang yang diajak bicara, malahan semakin melantur pembicaraannya yang tidak masuk akal. Bahkan berkepanjangan tutur katanya, sedangkan yang diceritakannya aneh-aneh dan tanpa batasnya. Si pandai dengan bijaksana lebih baik mengalah, menutupi kebodohan si pandir)

5
Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

(Demikianlah ilmu yang benar, dan sebenarnya hanya ingin memberikan rasa senang dalam hati. Ia senang dikatakan bodoh, dan menerimanya dengan setulus hati, bila mendapat penghinaan. Berbeda dengan si pandir yang senantiasa ingin disanjung dan selalu ingin dipuji sepanjang hari. Kehidupan manusia janganlah demikian hendaknya)

6
Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung,  sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

Hidup yang hanya sekali di dunia ini akanlah sia-sia. Kesadarannya pada kebenaran tidak pernah ada ujung pangkalnya, melainkan semakin porak-poranda. Ibarat, jiwanya terkurung di dalam goa yang gelap gulita, yang diterjang angin. Awalnya mendengung, menggeram, menggaung yang terus-menerus berdengung. Seperti halnya dengan si pandir, yang meskipun demikian masih merasa dirinya pandai sendiri)

7
Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

(Akhir dari suatu permasalahan yang hanya sepele, larinya tidak lain mengandalkan ayah bundanya, yang memang sanggup mengatasinya karena tergolong kaum bangsawan. Sudah tentu sang ayah yang menyelesaikannya, namun bagaiman dengan Ananda sendiri yang belum pernah meresapi arti inti tata krama. Sebagai sarat kelengkapan yang selalu digunakan, dalam melaksanakan agama suci)

8
Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

(Cacat jiwa raganya memang terlihat sekali saat bertutur kata, sedikitpun tidak mau kalah dan selalu ingin menang sendiri. Senang membanggakan diri dan takabur, hingga hilang kewaspadaan. Dia merasa senang sekali terhadap sesuatu hal yang berhubungan dengan keberanian, tanpa mempertimbangkan perbuatannya secara seksama. Hal semacam itu Nak, sesungguhnya tidak menyenangkan)

9
Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.

(Sesuatu hal yang dirahasiakan adalah ilmu karang, yang merupakan rekaan dari jenis golongan gaib. Ilmu semacam tersebut diibaratkan merupakan bedak pupur belaka, tidak meresap ke dalam jasad hanya menempel di luar dagingmu, Nak! Apabila mendadak bertemu dengan marabahaya, ternyata ilmu tersebut tidak ada kesanggupan menanggulanginya (ingkar))

10
Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

Seyogyanya sedapat mungkin, seperti pepatah mengatakan, upayakanlah dengan sungguh-sungguh keselamatan hati. Untuk itu carilah ilmu yang patut, dengan menyesuaikan diri pada kepribadian, bagi suatu kerajaan sebagai pedoman yang harus dipatuhi. Merupakan kelengkapan dari satu pengabdian, yang dikerjakan dan diamalkan siang dan malam)

11
Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

(Hal itu, Nak! Tanyakanlah kepada para sarjana (orang arif bijaksana) yang sedang bertapa. Boleh juga kepada insan yang jejaknya dapat digunakan sebagai suri tauladan sepanjang masa karena kesucian hatinya. Yakni insan yang telah sanggup menahan hawa nafsunya. Ketahuilah bahwa ilmu yang sejati, tidak selalu dimiliki oleh seorang lanjut usia, dan anak muda maupun pada rakyat jelata yang hina dina)

12
Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

(Barang siapa yang mendapatkan wahyu Ilahi, akan segera memiliki kemampuan yang cemerlang dalam mempelajari ilmu. Akan mampu pula mendapatkan dan menguasai cara bersamadi, mengosongkan jiwa raga. Apabila demikian adanya dapat disebut sebagai orang tua, yang dimaksudkan dengan tua ialah telah terbebas dari hawa nafsu. Namun waspadalah terhadap dua macam anasir godaan)

13
Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

(Tanpa ragu-ragu lagi terhadap manunggalnya sukma, yang diresapkan dalam lubuk kalbu dan dijelmakan kembali di kala sepi. Lalu disimpan kembali dalam lubuk hati sanubari, sedangkan saat membukanya tirai, tidak lain ketika dalam setengah tertidur antara sadar dan tidak. Menyerupai dengan melesatnya suatu impian yang meresap ke dalam rasa sejati)

14
Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

PUPUH II
S I N O M

(Sesungguhnya bagi insan yang telah mengalaminya, berarti telah mendapatkan perkenan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kembali ke alam yang sunyi (hampa), tanpa tertarik keduniawian. Sifat awal yang menguasainya secara mutlak (hawa nafsu), telah dapat dikuasainya dengan sempurna untuk kembali kepada fitrahnya. Demikianlah adanya wahai anak muda)
15
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

(Contohlah perbuatan yang sangat baik tersebut, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati. Berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu. Dengan melakukan oleh samadinya, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)

16
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dalam memegang teguh pendiriannya menahan tidak makan dan tidur)

17
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya. Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus. Selanjutnya memeras kemampuan (cara untuk mengendalikan pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman), agar mencintai sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah samadi) dilakukannya di tepi samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Ilahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)

18
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

(Setelah mengetahui yang terkandung di dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dengan memohon dengan suara halus, karena kalah kewibawaannya dengan tokoh besar dari Mataram)

19
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,  ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam gaib. Pada saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Panembahan Senapati) yang telah ditentukannya. Yang diharapkan hanyalah memohon ridlo-Nya berkat oleh tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang)

20
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senapati) kelak dikemudian hari. Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini. Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa)

21
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahingSenapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Senapati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang. Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu)

22
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mapir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

(Meskipun tidak memuskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa berperihatin. Namun pada zaman yang akan datang, para anak muda yang digemari, hanya sekedar meniru perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia, selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid, mengharapkan mukjizat mendapatkan derajat (kedudukan tinggi))

23
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

(Terus-menerus tiada hentinya mendalami yang berkisar tentang syari’at, tanpa mengetahui apa inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang bertembang Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran)

24
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapatkan pujian, lalu meniru perbuatan yang layaknya seorang fakih. Asalkan engkau tekun dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula)

25
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin. Lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri mengajar anak-anaknya)

26
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

(Karena ketika masih muda dahulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir zaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan)

27
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas)

28
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak zaman dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)

29
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut. Akibatnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu arah tujuannya)

30
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran zaman. Hingga seolah-olah tidak berbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak di haribaan kebesaran Tuhan)

31
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuhbudi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama)

32
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang pendeta pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma’rifat)


PUPUH III
P U C U N G

33
Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

(Ilmu itu, akan bermanfaat bila disertai dengan penghayatan. Pengetrapannya pun dengan bersungguh-sungguh. Artinya kesungguhan akan memberi kesentosaan. Kesadaran sebagai sarana memusnahkan angkara murka)

34
Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

(Perbuatan jahat yang besar itu, menggulung di sekitar tubuh. Sesuai dengan golongannya sendiri, jangkauan lingkarannya melingkupi alam semesta. Bila tidak dikekang akan meluas menjadi malapetaka)

35
Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

(Lain halnya, bila telah terbiasa dengan kehidupan yang serba sunyi. Tersirat di wajahnya yang mencerminkan pemberi maaf, kepada sesamanya yang bersalah. Selalu tenang dan sabar dengan kesungguhannya sebagai seorang pemurah hati)

36
Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

(Sama sekali tidak tergoda, oleh rintangan di dalam hati yang menimbulkan kekhilafan. Karena telah tenggelam dalam keluhuran budi, yang disebabkan oleh anugerah Tuhan. Suatu anugerah Tuhan yang melimpah ibaratnya sebesar gunung)

37
Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

(Seperti itulah yang patut, untuk ditiru dan diindahkan seluruh petunjuknya. Jangan sampai seperti masa yang akan datang, banyak para kawula muda menyombongkan diri, hanya sekadar ayat yang diketahuinya)

38
Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

(Belum layak, sudah berlagak ingin menerangkan makna ayat, yang gayanya seperti sayid dari Mesir. Serta seringkali meremehkan kepandaian orang lain)

39
Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

(Yang seperti itu, termasuk orang yang gemar mengaku-aku kepandaian orang lain, adapun kepandaian sendiri tidak ada. Lebih aneh lagi tidak menyadari kebudayaannya sendiri, bahkan memaksakan kehendaknya mengambil pengetahuan di Mekah)

40
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

(Tidak tahu, bahwa inti ilmu yang dicari, sebenarnya melekat erat dalam dirinya sendiri. Asalkan diolah dengan kesungguhan hati, di mana pun baik di sana (Mekah) maupun di sini (Jawa) keadaannya tidak berbeda)

41
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

(Bila apa adanya, yang dilakukan dalam meraih kehendak hati secara jujur. Jika terkabul pasti terbukalah, pintu drajat yang dihajatkan dalam kehidupan. Seperti yang telah dipaparkan dalam pupuh lagu Sinom)

42
Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

(Perihal ilmu, seyogyanya diselaraskan dengan hasil pengalaman. Sedangkan mendalaminya dengan bertapa (olah samadi), bagi para ksatria Jawa. Sejak zaman dahulu kala, yang dilaksanakannya berpegang pada tiga hal penting)

43
Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

(Tiga hal penting tersebut di atas) ialah: yang pertama rela jika kehilangan tidak akan menyesal, yang kedua tetap bersabar bila terkena prasangka dari sesama insan. Adapun yang ketiga tulus ikhlas berserah diri kepada Tuhan)

44
Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

(Tuhan Yang Maha Agung, selalu ditempatkan di puncak jantung (berdzikir). Atas ridlo Yang Maha Kuasa, berkenan bersemayam di tempat suci. Namun tidak demikian dengan si pandir yang selalu mengumbar hawa nafsunya)

45
Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

(Tidak habisnya, dan senang mengumbar hawa nafsu, yang hakikatnya tidak ada. Adanya hanya mengumpat dan selalu marah, layaknya raksasa yang cepat naik pitam dan senang manganiaya)

46
Sakeh luput,  ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

(Banyak kesalahan, pada dirinya disembunyikan dan ditutupi. Menurut pendapatnya tidak akan ada yang mengetahui, meskipun demikian tidak mau disalahkan. Apabila ada yang membuka sifat jahatnya, amarahnyalah yang dijadikan senjata)

47
Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

PUPUH IV
G A M B U H

(Belum mencapai tingkat yang lebih dari orang lain, dalam pengetahuannya sudah tidak mampu menerima tambahan ilmu. Karena di sela-sela pikirannya telah dipenuhi hawa nafsu, hingga pikirannya menjadi pendek tertutup oleh pamrih. Maka mustahil jika hendak mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa)
48
Samengko ingsun tutur, sembah catur: supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

(Kelak akan saya sampaikan, empat macam sembahyang agar dapat diwariskan turun temurun. Awalnya sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dengan sembahyang tersebut dapat ditemukan, suatu tanda anugerahnya Tuhan)

49
Sembah raga puniku,pakartine wong amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

(Sembahyang raga tersebut, pengamalannya seperti orang yang sedang magang kerja. Mensucikan diri dengan menggunakan air, yang lazimnya dilaksanakan lima waktu. Sifat dan pedomannya sesuai dengan ketentuan)

50
Inguni-uni durung, sinarawung wulang kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun, sarengate elok-elok.

(Pada masa lalu memang belum pernah, diperkenalkan ajaran yang dipaksakan. Baru kali ini ada golongan yang bersungguh-sungguh mengeluarkan gagasannya, dan memperlihatkan kemahiran dengan syari’atnya yang serba aneh)

51
Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha nggugu, anggere guru nyalemong.

(Agak mirip dengan santri Dul, yang terjadi dengan para santri yang sedang birahi di daerah selatan, sepanjang pesisir pantai Pacitan. Ribuan orang mempercayainya, apa saja yang diucapkan gurunya)

52
Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku, akale keliru enggon.

(Tergesa-gesa hendak melihat, Nur Illahi yang dikiranya mudah dikenali. Serta sangat berharap datangnya cahaya gaib yang akan diraihnya, tanpa menyadari bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang salah dalam menafsirkannya)

53
Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku batin, dadi ora gawe bingung, kang padha nembah Hyang Manon.

(Pada masa para orangtua dahulu, telah diatur dengan teliti dan cermat secara turun temurun. Golongan syari’at tidak mencampurkan ketentuan dengan penghayatan batin, sehingga tidak membingungkan, bagi penyembah Tuhan Yang Maha Esa)

54
Lire sarengat iku, kena uga ingaranan laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan mwih kaot.

(Sesungguhnya syari’at tersebut, dapat pula dinamakan penghayatan. Awalnya dilakukan secara teratur yang keduanya dengan kesungguhan hati. Hasilnya akan menyegarkan jasmani yang membuat sehat dan kuat, anakku!)

55
Wong seger badanipun, otot daging kulit balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati nunungku, angruwat ruweting batos.

(Orang yang bugar jasmaninya, baik otot, daging, kulit, maupun tulang sumsumnya. Dapat mempengaruhi pada darahnya dalam menambah daya menenangkan jiwa. Ketenangan jiwa pada saat memadukan pikiran dan perasaan, akan menghilangkan kekusutan batinnya)

56
Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi, sayektine nora jumbuh, tekad kang padha linakon.

(Demikianlah bagi saya, namun karena kesadarannya berbeda. Perbedaannya sampai pada kodrat dan iradat Illahi atas manusia, yang sesungguhnya tidak sama, akan tekad dari masing-masing insan yang melaksanakannya)

57
Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu, nugraha geming Kaprabon.

(Meskipun memaksakan kehendak untuk mengajar, sebagai orangtua hanya dapat bertutur kata. Untuk memberkahinya dalam mencapai budi luhur yang terbaik. Serta siapa pun yang berusaha dengan kesungguhan hati pasti akan memetik hasilnya, mendapat anugerah pakaian kerajaan. (Hakikat pengabdiannya diterima dan mendapat kedudukan sebagai narapraja, serta menerima anugerah pakaian beserta kelengkapannya dari raja)

58
Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

(Pada akhirnya perihal sembahyang kalbu (berdzikir), bila berlangsung secara teratur dapat dijadikan penghayatan. Penghayatan agung yang dimiliki raja, bila ilmu yang telah dikuasai dengan tepat, akan mengetahui pada pengasuhnya (gaib)

59
Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetetp talaten atul, tuladhan marang waspaos.

(Mensucikan diri tidak menggunakan air, namun dengan cara mengurangi keangkaraan hati. Permulaannya harus secara teratur cermat dan berhati-hati, karena telah terbiasa tekun tidak mudah tergoda. Merupakan teladan menuju kearifan)

60
Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.

(Yang mengarah pada penglihatan sejati, dalam berusaha untuk mencapai tujuan yang nyata. Apabila benar-benar taat menjalankan azas, oleh sesuatu hal dan ketentuannya. Maka terbukalah alam yang indah dengan sangat jelas sekali)

61
Yen wus kambah kadyeku, sarat sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling,  Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.

(Apabila telah menghayati seperti tersebut di atas, selanjutnya harus dapat memenuhi syarat penghayatan, antara lain sabar, , tenang dan sadar. Bersamaan dengan hilangnya segenap rasa, di mana akan terasa dengan jelas peri keadilan Tuhan Yang Maha Esa)

62
Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, mring pamurunging lelakon.

(Kegagalannya bila selalu menuruti kemauan hati, dan tidak mengharapkan terpenuhinya segala keinginan. Jenis gagasan apabila terus-menerus dituruti akan menyebabkan kegagalan, karena itu waspada dan sadarlah, akan hal-hal yang menggagalkan perjalanan laku (dalam menuntut ilmu)

63
Samengko kang tinutur, sembah katri kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.

(Nantinya yang akan terucapkan, adalah sembahyang ketiga yang pasti dipersembahkan, kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan khusuk setiap harinya. Maka resapkan dan capailah, sembahyang dalam hati (berdzikir) lebih mencakup pada kebenaran, putraku!

64
Sayekti luwih prelu, ingaranan pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

(Sangat penting untuk diketahui, sebagai pengamalan terakhir. Adalah perbuatan yang berkaitan dengan segi olah batin, agar kesucian tetap terjaga dan selalu ingat, akan keadaan alam baka)

65
Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam kono.

(Tenggelamnya dengan membawa rasa bersalah, atas firasat gaib dalam keadaan larut. Kejadian tersebut merupakan suatu kenyataan, anakku! Karena sesungguhnya tidak akan selalu ingat, bahwa kebenaran tidak akan dapat terpadu)

66
Keleme mawa limut, kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan bisa awor.

(Tenggelamnya dengan membawa rasa bersalah, atas firasat gaib dalam keadaan larut. Kejadian tersebut merupakan suatu kenyataan, anakku! Karena sesungguhnya tidak akan selalu ingat, bahwa kebenaran tidak akan dapat terpadu)

67
Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

(Ketika dalam keadaan antara sadar dan tidak, yang harus serba tenang seiring keadaan yang menghanyutkan. Asalkan tetap waspada yang kewaspadaannya dapat diandalkan, tidak lain hanyalah pribadinya sendiri, yang tampak memperlihatkan diri)

68
Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

(Namun jangan sampai salah masuk, karena di sana ada cahaya sejati. Yaitu cahaya utama yang menghidupi nurani, menerawang bersinar berkilauan, layaknya terlihat laksana bintang)

69
Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor.

(Sehingga terbukanya kalbu, telah terbuka baik yang menguasai maupun yang dikuasai. Wilayahnya telah tercakup dalam diri pribadi, tetapi diri pribadinya pun dikuasai pula, oleh yang menyerupai bintang cemerlang)

70
Samengko ingsun tutur, gantya sembah ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

(Kelak penuturan saya, akan berganti pada sembahyang ke empat. Dengan sembahyang rasa akan terasa hakikatnya kehdupan, terwujudnya sudah tanpa memerlukan petunjuk, hanya tinggal menggunakan kekuatan batin semata-mata)

71
Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok.

(Apabila belum mengalaminya, jangan sekali-kali berani mengaku (seperti hal tersebut di atas). Akan mendapat laknat atas perbuatan demikian itu, Nak, boleh juga menyombongkan diri, asalkan telah mengalaminya dengan jelas)

72
Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot.

(Jelasnya perbincangan tersebut, bila perasaan yang merisaukan hati telah hilang lenyap. Yang ada hanyalah keyakinan dan percaya terhadap takdir, karena itu waspadalah dan ingatlah selalu, seyogyanya telitilah dengan cermat bila hendak mendalami suatu ilmu)

73
Pamoring ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh wekasing dumados.

(Untuk dapat menguasai makna tersebut, haruslah memiliki budi yang teguh sentosa. Serta sabar tawakal setulus hati, sukarela dan kasih sayang, selalu ingat akan “datang perginya” manusia ke alam asal)

74
Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur, hardaning budi kang ngrodon.

(Semua sikap laku, yang dilaksanakan harus tidak sembarangan. Bertindaklah sewajarnya dan mudah memberi maaf kepada sesama, yang berbuat kesalahan, karena sikap laku jahat adalah dorongan hawa nafsu)

75
Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging batos.

Ketahuilah mana yang benar dan salah, hal itu merupakan pelita hati. Yang membuka dinding penghalang alam gaib, dan selama itu mengurung di dalam dasarnya batin)

76
Rasaning urip iku krana momor pamoring sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.

(Rasanya hidup itu, karena manunggal dengan adanya wujud. Segala wujud di alam dunia ini menandakan adanya yang mewujudkan, seperti antara yang manis dan madu, manakah nama sebenarnya)

77
Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

(Manakah yang disebut manis dan manakah madunya, apabila telah dapat mengurai ilham Illahi, berpadunya jiwa yang luhur. Dengan menguasai sepenuhnya, dapat melihat dengan mata lahir batin)

78
Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

(Di dalam batin tidaklah akan keliru, ilham Illahi yang tampak sekejap dapat dihayati oleh kalbu. Merupakan petunjuk pendekatan dengan Tuhan, dengan menyelamatkan jiwa kasih sayang, pada kebiasaan sikap yang berganti tempat)

79
Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.

(Bagaimana pun usaha menerima ilham Illahi, yang menyisihkan tabir itu dapat terlaksana. Hal tersebut ada yang menggunakan perumpamaan inti sarinya di dalam telur, bahwasanya telur itu terdiri dari “kuning dan putih”. Kuningnya diibaratkan “batiniah”, adapun putihnya diibaratkan “lahiriah)

80
Putih lan kuningpun, lamun arsa titah teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.

(Putih dan kuningnya telur, apabila seorang insan terlahir, bagaimana bisa lahirnya menunggal dengan batinnya. Menurut tata lahiriah mustahil terwujud, maka bagaimana hal tersebut dapat terjadi?)

81
Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

(Batiniah enggan untuk keluar, sebaliknya lahiriah pun enggan untuk masuk. Namun akhirnya lahiriah menyatu dengan batiniah, dan batiniah keluar menjadi lahiriah. Maka perhatikanlah dengan kesungguhan hati, agar jangan sampai terlanjur tidak memahaminya)

82
Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dhewekw den anggep dhayoh.

PUPUH V
K I N A N T H I

(Bilamana terlanjur tidak memahaminya, akan menyesal seumur hidup. Maka hal tersebut akan sia-sialah hidupnya, menjadi orang hina tanpa berpengetahuan, yang menganggap dirinya adalah tamu)
83
Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.

(Padahal pengetahuan tersebut dapat tumbuh berkembang, yang senantiasa harus selalu ingat. Ingat akan ilham Illahi dan ketentuan alam, sehingga laku hidupnya sesuai dengan kehendak Illahi. Dengan begitu hidupnya dijauhkan dari kesengsaraan, yang harus dijaga selama hidup di dunia ini)

84
Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

(Oleh karena itu tekunlah, buyung! Dalam mengolah ketajaman hati, dengan memohon setiap malam. Untuk dapat menemukan kebenaran dan berusaha selalu berbuat baik, dengan menyingkirkan gejolak nafsu, agar menjadi orang yang berbudi luhur)

85
Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa muka, kekes srabedaning budi.

(Dalam mengolah ketajaman hati seyogyanya di tempat yang sunyi, haruslah jauh pula dari segenap pemikiran/pamrih. Serta apabila telah merasakan ketajamannya, yang akan dapat mengikis gunung Reksamuka, dengan segala godaan hawa nafsunya)

86
Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam sakalir.

(Kewaspadaan yang berarti, mengetahui akan segala halangan hidup, dan kekuasaannya Sang Maha Tunggal, yang siang maupun malam manunggal. Serta sabda-Nya pun menumbuhkan karsa, keseluruh alam semesta)

87
Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki, ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya, wewesen praptaning uwis.

(Janganlah mengabaikan suara hati, dan berusahalah selalu mawas diri. Maka kelak akan merasa adanya suara, yang terucap bukan dari diri pribadi. Oleh karena itu turutilah niat tersebut, sampai diakhir tujuannya)

88
Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih titih.

(Hilangkanlah rasa ragu di hati, dan harus selalu ingat pada suara hati. Karena dari sanalah jalannya untuk mengurangi sedikit demi sedikit, pengendalian hawa nafsu. Dengan membiasakan mengolah rasa, yang akhirnya akan terbiasa)

89
Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira, sambekala den kaliling.

(Janganlah membiasakan berlaku nista, yang tiada menghasilkan faedah. Dalam kesibukan hidup yang penuh dengan rencana, sehingga haruslah berhati-hati. Agar dijauhkan dari segala rintangan dan bahaya, yang senantiasa mengelilinginya.

90
Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas anemahi.

(Ibaratnya orang berjalan, harus melewati jalan yang gawat. Apabila langkahnya tidak terarah, tentu akan menginjak duri. Yang sialnya lagi akan terantuk batu, sehingga babak belurlah yang dialaminya)

91
Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

(Jamaklah bila setelah kejadian tersebut, lalu diobati namun telah babak belur. Walaupun banyak sekali memiliki pengetahuan, namun tidak melaksanakan sesuai dengan pengamalannya. Tidaklah akan berguna kemanfaatannya, yang hasilnya akan sia-sia belaka)

92
Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

(Berbicaralah selalu hal yang serba muluk, dan ucapannya pun bagaikan seorang wali. Serta beranggapan dirinya lebih daripada pendeta, namun kelebihannya pun tidak ada, kesemuanya itu menandakan bahwa bualan belaka)

93
Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige, kang mangkono iku kaki.

(Pengetahuannya hanya pada ucapan belaka, yang mengetahui banyak perihal alam gaib. Apabila tersinggung dan dibantah, matanya melotot dan marah, yang menandakan bahwasanya pendeta palsu, yah seperti itulah adanya, Nak!

94
Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.

(Adapun namanya olah samadi, merupakan jalannya ilmu sejati, yang tidak mengenal dendam hati, dan tidak mengenal jahil. Tidak pula menuruti dorongan keadaan sekitarnya, yang ada hanyalah bertujuan mendapatkan ketenangan dalam keheningan)

95
Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani.

(Tersohornya insan yang berbudi luhur, bilamana dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Hal tersebut merupakan tunas, yang akan tumbuh pada perbuatan utama. Meskipun pendapatnya benar, akan tetap menghargai bila ada yang berbeda pendapat)

96
Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa esak aywa serik.

Meskipun yang berbeda pendapat itu, sesungguhnya telah menyadari penghetahuannya kurang, namun enggan mengalah. Hendaknya janganlah memperlihatkan ketidaksenangan, agar menyenangkan kesesama lainnya, tanpa kesal dan tanpa sakit hati)

97
Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

(Pertanda anugerah Illahi yang hampir nampak, akan berlangsung selamanya. Karena datangnya pahala dari Yang Maha Esa, yang senantiasa diingat dan dirasakan, tanpa akan terlepas, ananda!

98
Mangkono ingkang tinamtu,tampa nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi premati.

(Demikianlah yang telah dipastikan, mendapat ridlo dan pahalanya Sang Khalik. Tidak mungkin ananda mendapatkannya, oleh karena itu sebaiknya berpuralah tidak mengerti. Dalam mengolah lahir dan batinnya, dengan menyimpan rahasia hati sebaik-baiknya)

99
Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana, lir leluhur nguni-uni.

(Wajiblah untuk dituruti dan diteladani, perbuatan yang menuju keutamaan. Keutamaan tersebut merupakan bunga kemuliaan, dan kemuliaan di dalam jiwa pribadi. Tidaklah mungkin akan dapat menyamai, layaknya para leluhur dahulu kala)

100
Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

(Berhasil atau tidaknya ikhtiar tersebut, tergantung diri pribadi. Tanpa meninggalkan keteladanan, yang bila tidak demikian. Pastilah hidupmu tidak akan berfaedah. Oleh karena itu, janganlah tidak diperhatikan atau dilaksanakan, ananda!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar