Serat Wedhatama, serat=kitab,
wedha=pengetahuan, tama=utama. Jadi, Serat Wedhatama bermakna Kitab Pengetahuan yang Utama,
untuk dapat kiranya memiliki budi atau jiwa yang utama/luhur bagi setiap
kehidupan insan di dunia. Serat ini berbentuk puisi (tembang) yang
tersusun dalam 100 bait (padha) ditulis oleh (KGPAA) Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunagoro IV di
Surakarta pada tahun 1905 Jawa atau 1973 Masehi dengan dua sengkalan, yaitu Candrasengkala untuk tahun 1905 Jawa berbunyi: “Lunguding Kamukswan Ambabar
Wiji”, sedangkan Suryasengkala untuk tahun 1973 Masehi adalah: “Cahyaning Piwulang Ambuka
Budi”.
Terjemahan bebas:
1
Mingkar-mingkuring ukara, akarana
karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba
sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah
Jawa, agama ageming aji.
(Menjauhkan diri dan menghindar dari
sifat yang mementingkan diri pribadi. Karena kegemaran memberi pengetahuan
dalam mendidik para putra, sambil mendendangkan sebuah kidung yang menjauhkan
diri dari hawa nafsu. Sedang lagu yang digubahnya dengan baik itu, dihiasi
kata-kata indah yang menyenangkan. Tujuannya agar ajaran budi luhur itu meresap
di dalam hati/kalbu, yang memiliki daya pengaruh pada pembentukan watak dan
budi pekerti. Sesuai dengan dasar kejiwaan untuk diterapkan di tanah Jawa,
yakni agama yang menjadi pegangan raja dalam melaksanakannya dengan baik)
2
Jinejer ing Weddhatama, mrih tan
kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani
rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane
pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.
(Dicantumkan sebagai pokok ajaran di
dalam Wedhatama ini, untuk tidak henti-hentinya diresapi. Walaupun sampai
lanjut usia, yang lajimnya mudah sekali khilaf, apabila tidak memahami perasaan
sejati akan sepi dari pengertian dan perasaan yang paling dalam. Ibaratnya
ampas tebu sehingga jiwanya hampa hanya angan-angan belaka, yang tingkah
lakunya tidak menyenangkan dan memalukan)
3
Nggugu karsane priyangga, nora
nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru
aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun
samudana, sesadoning adu manis .
(Biasanya pribadi manusia selalu
menuruti kemauannya sendiri. Apabila berbicara tidak pernah mempertimbangkan
tempat dan dengan siapa. Tidak mau dikatakan bodoh, sebaliknya selalu ingin
dipuji. Namun bagi orang yang arif akan pancaran rona, biasanya secara
samar-samar menyembunyikan apa yang sedang dipikirkannya. Dalam percakapannya,
ia akan selalu menjawab pertanyaan dengan berbicara yang manis)
4
Si pengung nora nglegewa, sangsayarda
denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora
kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah,
ngalingi marang sipingging.
(Si pandir tidak merasakan sikap orang
yang diajak bicara, malahan semakin melantur pembicaraannya yang tidak masuk
akal. Bahkan berkepanjangan tutur katanya, sedangkan yang diceritakannya
aneh-aneh dan tanpa batasnya. Si pandai dengan bijaksana lebih baik mengalah,
menutupi kebodohan si pandir)
5
Mangkono ilmu kang
nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng
tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina
dina, aja mangkono wong urip.
(Demikianlah ilmu yang benar, dan
sebenarnya hanya ingin memberikan rasa senang dalam hati. Ia senang dikatakan
bodoh, dan menerimanya dengan setulus hati, bila mendapat penghinaan. Berbeda
dengan si pandir yang senantiasa ingin disanjung dan selalu ingin dipuji
sepanjang hari. Kehidupan manusia janganlah demikian hendaknya)
6
Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare
ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng
anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.
Hidup yang hanya sekali di dunia ini
akanlah sia-sia. Kesadarannya pada kebenaran tidak pernah ada ujung pangkalnya,
melainkan semakin porak-poranda. Ibarat, jiwanya terkurung di dalam goa yang
gelap gulita, yang diterjang angin. Awalnya mendengung, menggeram, menggaung
yang terus-menerus berdengung. Seperti halnya dengan si pandir, yang meskipun
demikian masih merasa dirinya pandai sendiri)
7
Kikisane mung sapala, palayune
ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang
rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama,
nggon-anggon agama suci.
(Akhir dari suatu permasalahan yang
hanya sepele, larinya tidak lain mengandalkan ayah bundanya, yang memang
sanggup mengatasinya karena tergolong kaum bangsawan. Sudah tentu sang ayah
yang menyelesaikannya, namun bagaiman dengan Ananda sendiri yang belum pernah
meresapi arti inti tata krama. Sebagai sarat kelengkapan yang selalu digunakan,
dalam melaksanakan agama suci)
8
Socaning jiwangganira, jer katara lamun
pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena
ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.
(Cacat jiwa raganya memang terlihat
sekali saat bertutur kata, sedikitpun tidak mau kalah dan selalu ingin menang
sendiri. Senang membanggakan diri dan takabur, hingga hilang kewaspadaan. Dia
merasa senang sekali terhadap sesuatu hal yang berhubungan dengan keberanian,
tanpa mempertimbangkan perbuatannya secara seksama. Hal semacam itu Nak,
sesungguhnya tidak menyenangkan)
9
Kekerane ngelmu karang, kakarangan
saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng
sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.
ubayane mbalenjani.
(Sesuatu hal yang dirahasiakan adalah
ilmu karang, yang merupakan rekaan dari jenis golongan gaib. Ilmu semacam
tersebut diibaratkan merupakan bedak pupur belaka, tidak meresap ke dalam jasad
hanya menempel di luar dagingmu, Nak! Apabila mendadak bertemu dengan
marabahaya, ternyata ilmu tersebut tidak ada kesanggupan menanggulanginya
(ingkar))
10
Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha
tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering
kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.
Seyogyanya sedapat mungkin, seperti
pepatah mengatakan, upayakanlah dengan sungguh-sungguh keselamatan hati. Untuk
itu carilah ilmu yang patut, dengan menyesuaikan diri pada kepribadian, bagi
suatu kerajaan sebagai pedoman yang harus dipatuhi. Merupakan kelengkapan dari
satu pengabdian, yang dikerjakan dan diamalkan siang dan malam)
11
Iku kaki takokena, marang para sarjana
kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh
sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.
(Hal itu, Nak! Tanyakanlah kepada para
sarjana (orang arif bijaksana) yang sedang bertapa. Boleh juga kepada insan
yang jejaknya dapat digunakan sebagai suri tauladan sepanjang masa karena
kesucian hatinya. Yakni insan yang telah sanggup menahan hawa nafsunya.
Ketahuilah bahwa ilmu yang sejati, tidak selalu dimiliki oleh seorang lanjut
usia, dan anak muda maupun pada rakyat jelata yang hina dina)
12
Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah
mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen
mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning
ngatunggil.
(Barang siapa yang mendapatkan wahyu
Ilahi, akan segera memiliki kemampuan yang cemerlang dalam mempelajari ilmu.
Akan mampu pula mendapatkan dan menguasai cara bersamadi, mengosongkan jiwa
raga. Apabila demikian adanya dapat disebut sebagai orang tua, yang dimaksudkan
dengan tua ialah telah terbebas dari hawa nafsu. Namun waspadalah terhadap dua
macam anasir godaan)
13
Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya
winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking
liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.
(Tanpa ragu-ragu lagi terhadap
manunggalnya sukma, yang diresapkan dalam lubuk kalbu dan dijelmakan kembali di
kala sepi. Lalu disimpan kembali dalam lubuk hati sanubari, sedangkan saat
membukanya tirai, tidak lain ketika dalam setengah tertidur antara sadar dan
tidak. Menyerupai dengan melesatnya suatu impian yang meresap ke dalam rasa
sejati)
14
Sajatine kang mangkono, wus kakenan
nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang
sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.
PUPUH II
S I N O M
(Sesungguhnya bagi insan yang telah
mengalaminya, berarti telah mendapatkan perkenan anugerah Tuhan Yang Maha
Kuasa. Kembali ke alam yang sunyi (hampa), tanpa tertarik keduniawian. Sifat
awal yang menguasainya secara mutlak (hawa nafsu), telah dapat dikuasainya
dengan sempurna untuk kembali kepada fitrahnya. Demikianlah adanya wahai anak
muda)
15
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah
Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane
hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak
tyasing sesama.
(Contohlah perbuatan yang sangat baik
tersebut, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram,
Panembahan Senopati. Berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa
nafsu. Dengan melakukan oleh samadinya, baik siang dan malam, mewujudkan
perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)
16
Samangsane pesasmuan, mamangun martana
martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki,
nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh
panggah cegah dhahar, lawan nendra.
(Saat berada dalam pertemuan, untuk
memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap
kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai
cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman
hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dalam memegang teguh pendiriannya
menahan tidak makan dan tidur)
17
Saben nendra saking wisma, lelana
laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas
marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi,
sruning brata kataman wahyu dyatmika.
(Setiap kali pergi meninggalkan rumah
(istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap
tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya.
Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi
pikiran yang tulus. Selanjutnya memeras kemampuan (cara untuk mengendalikan
pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman), agar mencintai sesama
insan. (Pengerahan segenap daya olah samadi) dilakukannya di tepi samudra.
Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Ilahi, dan
terlahir berkat keluhuran budi)
18
Wikan wengkoning samodra, kederan wus
den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni,
nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor
prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.
(Setelah mengetahui yang terkandung di
dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan
yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam menjadi satu genggaman,
sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang
mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dengan memohon dengan suara halus,
karena kalah kewibawaannya dengan tokoh besar dari Mataram)
19
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat
kanci, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem
anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate
teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.
((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan
sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam gaib. Pada
saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan
ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Panembahan Senapati) yang telah
ditentukannya. Yang diharapkan hanyalah memohon ridlo-Nya berkat oleh tapanya,
meskipun harus bersusah payah membanting tulang)
20
Prajanjine abipraja, saturun-turun
wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya
ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah
tumerah darahe pada wibawa.
((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar,
bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senapati) kelak dikemudian hari.
Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai
kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang
dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini.
Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa)
21
Ambawani tanah Jawa, kang padha
jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahingSenapati, pan iku pantes
ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine
tan bisa ngepleki kuna.
(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi
raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah
keturunan Senapati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan
baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang.
Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu)
22
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa
prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad
nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mapir
masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.
(Meskipun tidak memuskan tapi masih
lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa berperihatin. Namun
pada zaman yang akan datang, para anak muda yang digemari, hanya sekedar meniru
perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia,
selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid,
mengharapkan mukjizat mendapatkan derajat (kedudukan tinggi))
23
Anggung anggubel sarengat, saringane
tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul
sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone
dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.
(Terus-menerus tiada hentinya mendalami
yang berkisar tentang syari’at, tanpa mengetahui apa inti sarinya. Ketentuan
yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan
dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan
bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti
sedang bertembang Dhandhanggula,
suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok
Palaran)
24
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning
Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne
ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki
pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.
(Bila engkau memaksakan diri meniru
ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan
langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau
adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapatkan
pujian, lalu meniru perbuatan yang layaknya seorang fakih. Asalkan engkau tekun
dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula)
25
Nanging enak ngupa boga, rehne ta
tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh
mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan
ngenting, parandene pari peksa mulang putra.
(Alangkah baiknya mencari nafkah,
karena telah ditakdirkan hidup miskin. Lebih baik mengabdi pada raja, untuk
bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang
yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan
tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri
mengajar anak-anaknya)
26
Saking duk maksih taruna, sadhela wus
anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami,
banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora
kober sembahyang gya tininggalan.
(Karena ketika masih muda dahulu,
walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama.
Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong
utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada
akhir zaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu
mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil
majikan)
27
Marang ingkang asung pangan, yen
kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot
Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi,
yen mamriha dadi kaum temah nista.
((Menghadap) kepada orang yang memberi
nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat
kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada
Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan
terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila
ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas)
28
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora
winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri,
aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan
lyan among ngupa boga.
(Demikian pula untuk menjadi khotib
atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut.
Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat
istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak zaman
dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)
29
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh
ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun
kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati
aking, temah papa papariman ngulandara.
(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan
sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi
dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai
terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut.
Akibatnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati
yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu
arah tujuannya)
30
Kang wus waspada ing patrap, mangayut
ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi
kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa
tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.
(Yang telah arif bijaksana
melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di
alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir.
Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh
peredaran zaman. Hingga seolah-olah tidak berbatas dan bertepi. Demikianlah
yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak di
haribaan kebesaran Tuhan)
31
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing
sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuhbudi, lahire den tetepi, ing reh
kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek
berag agama.
(Demikianlah insan yang telah mencapai
tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap
saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap
berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar
menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang
serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama)
32
Ing jaman mengko pan ora, arahe para
turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken
kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur
wus manggon pamucunge mring makrifat.
(Pada masa mendatang tidaklah demikian
adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang
benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya
sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya,
seorang pendeta pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar
tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma’rifat)
PUPUH III
P U C U N G
33
Ngelmu iku, kalakone kanthi laku,
lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.
(Ilmu itu, akan bermanfaat bila
disertai dengan penghayatan. Pengetrapannya pun dengan bersungguh-sungguh.
Artinya kesungguhan akan memberi kesentosaan. Kesadaran sebagai sarana
memusnahkan angkara murka)
34
Angkara gung, neng angga anggung
gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi
rubeda.
(Perbuatan jahat yang besar itu, menggulung
di sekitar tubuh. Sesuai dengan golongannya sendiri, jangkauan lingkarannya
melingkupi alam semesta. Bila tidak dikekang akan meluas menjadi malapetaka)
35
Beda lamun, kang wus sengsem reh
ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi
marto tama.
(Lain halnya, bila telah terbiasa
dengan kehidupan yang serba sunyi. Tersirat di wajahnya yang mencerminkan
pemberi maaf, kepada sesamanya yang bersalah. Selalu tenang dan sabar dengan
kesungguhannya sebagai seorang pemurah hati)
36
Taman limut, durgameng tyas kang weh
limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi
gengira.
(Sama sekali tidak tergoda, oleh
rintangan di dalam hati yang menimbulkan kekhilafan. Karena telah tenggelam
dalam keluhuran budi, yang disebabkan oleh anugerah Tuhan. Suatu anugerah Tuhan
yang melimpah ibaratnya sebesar gunung)
37
Yeku patut, tinulad-tulad tinurut,
sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.
(Seperti itulah yang patut, untuk
ditiru dan diindahkan seluruh petunjuknya. Jangan sampai seperti masa yang akan
datang, banyak para kawula muda menyombongkan diri, hanya sekadar ayat yang
diketahuinya)
38
Durung pecus,kesusu kaselak besus,
amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning
janma.
(Belum layak, sudah berlagak ingin
menerangkan makna ayat, yang gayanya seperti sayid dari Mesir. Serta seringkali
meremehkan kepandaian orang lain)
39
Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku,
akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing
Mekah.
(Yang seperti itu, termasuk orang yang
gemar mengaku-aku kepandaian orang lain, adapun kepandaian sendiri tidak ada.
Lebih aneh lagi tidak menyadari kebudayaannya sendiri, bahkan memaksakan
kehendaknya mengambil pengetahuan di Mekah)
40
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh,
lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.
(Tidak tahu, bahwa inti ilmu yang
dicari, sebenarnya melekat erat dalam dirinya sendiri. Asalkan diolah dengan
kesungguhan hati, di mana pun baik di sana (Mekah) maupun di sini (Jawa)
keadaannya tidak berbeda)
41
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng
kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng
sekar srinata.
(Bila apa adanya, yang dilakukan dalam
meraih kehendak hati secara jujur. Jika terkabul pasti terbukalah, pintu drajat
yang dihajatkan dalam kehidupan. Seperti yang telah dipaparkan dalam pupuh lagu
Sinom)
42
Basa ngelmu, mupakate lan panemu,
pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.
(Perihal ilmu, seyogyanya diselaraskan
dengan hasil pengalaman. Sedangkan mendalaminya dengan bertapa (olah samadi),
bagi para ksatria Jawa. Sejak zaman dahulu kala, yang dilaksanakannya berpegang
pada tiga hal penting)
43
Lila lamun, kelangan nora gegetun,
trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.
(Tiga hal penting tersebut di atas)
ialah: yang pertama rela jika kehilangan tidak akan menyesal, yang kedua tetap
bersabar bila terkena prasangka dari sesama insan. Adapun yang ketiga tulus
ikhlas berserah diri kepada Tuhan)
44
Batara gung, inguger graning jajantung,
jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.
(Tuhan Yang Maha Agung, selalu
ditempatkan di puncak jantung (berdzikir). Atas ridlo Yang Maha Kuasa, berkenan
bersemayam di tempat suci. Namun tidak demikian dengan si pandir yang selalu
mengumbar hawa nafsunya)
45
Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose
tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.
(Tidak habisnya, dan senang mengumbar
hawa nafsu, yang hakikatnya tidak ada. Adanya hanya mengumpat dan selalu marah,
layaknya raksasa yang cepat naik pitam dan senang manganiaya)
46
Sakeh luput, ing angga tansah
linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe
gada.
(Banyak kesalahan, pada dirinya
disembunyikan dan ditutupi. Menurut pendapatnya tidak akan ada yang mengetahui,
meskipun demikian tidak mau disalahkan. Apabila ada yang membuka sifat
jahatnya, amarahnyalah yang dijadikan senjata)
47
Durung punjul, ing kawruh kaselak
jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring
Hyang Wisesa.
PUPUH IV
G A M B U H
(Belum mencapai tingkat yang lebih dari
orang lain, dalam pengetahuannya sudah tidak mampu menerima tambahan ilmu.
Karena di sela-sela pikirannya telah dipenuhi hawa nafsu, hingga pikirannya
menjadi pendek tertutup oleh pamrih. Maka mustahil jika hendak mendekatkan diri
kepada Yang Maha Kuasa)
48
Samengko ingsun tutur, sembah catur:
supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu,
tandha nugrahaning Manon.
(Kelak akan saya sampaikan, empat macam
sembahyang agar dapat diwariskan turun temurun. Awalnya sembah raga, sembah
cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dengan sembahyang tersebut dapat ditemukan,
suatu tanda anugerahnya Tuhan)
49
Sembah raga puniku,pakartine wong
amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu,
wantu wataking wawaton.
(Sembahyang raga tersebut,
pengamalannya seperti orang yang sedang magang kerja. Mensucikan diri dengan
menggunakan air, yang lazimnya dilaksanakan lima waktu. Sifat dan pedomannya
sesuai dengan ketentuan)
50
Inguni-uni durung, sinarawung wulang
kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun,
sarengate elok-elok.
(Pada masa lalu memang belum pernah,
diperkenalkan ajaran yang dipaksakan. Baru kali ini ada golongan yang
bersungguh-sungguh mengeluarkan gagasannya, dan memperlihatkan kemahiran dengan
syari’atnya yang serba aneh)
51
Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya
santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha
nggugu, anggere guru nyalemong.
(Agak mirip dengan santri Dul, yang
terjadi dengan para santri yang sedang birahi di daerah selatan, sepanjang
pesisir pantai Pacitan. Ribuan orang mempercayainya, apa saja yang diucapkan
gurunya)
52
Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang
kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku,
akale keliru enggon.
(Tergesa-gesa hendak melihat, Nur
Illahi yang dikiranya mudah dikenali. Serta sangat berharap datangnya cahaya
gaib yang akan diraihnya, tanpa menyadari bahwa hal tersebut adalah suatu hal
yang salah dalam menafsirkannya)
53
Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah
tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku batin, dadi ora gawe bingung,
kang padha nembah Hyang Manon.
(Pada masa para orangtua dahulu, telah
diatur dengan teliti dan cermat secara turun temurun. Golongan syari’at tidak
mencampurkan ketentuan dengan penghayatan batin, sehingga tidak membingungkan,
bagi penyembah Tuhan Yang Maha Esa)
54
Lire sarengat iku, kena uga ingaranan
laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan
mwih kaot.
(Sesungguhnya syari’at tersebut, dapat
pula dinamakan penghayatan. Awalnya dilakukan secara teratur yang keduanya
dengan kesungguhan hati. Hasilnya akan menyegarkan jasmani yang membuat sehat
dan kuat, anakku!)
55
Wong seger badanipun, otot daging kulit
balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati
nunungku, angruwat ruweting batos.
(Orang yang bugar jasmaninya, baik
otot, daging, kulit, maupun tulang sumsumnya. Dapat mempengaruhi pada darahnya
dalam menambah daya menenangkan jiwa. Ketenangan jiwa pada saat memadukan
pikiran dan perasaan, akan menghilangkan kekusutan batinnya)
56
Mangkono mungguh ingsun, ananging ta
sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi, sayektine nora jumbuh,
tekad kang padha linakon.
(Demikianlah bagi saya, namun karena
kesadarannya berbeda. Perbedaannya sampai pada kodrat dan iradat Illahi atas
manusia, yang sesungguhnya tidak sama, akan tekad dari masing-masing insan yang
melaksanakannya)
57
Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa
tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu,
nugraha geming Kaprabon.
(Meskipun memaksakan kehendak untuk
mengajar, sebagai orangtua hanya dapat bertutur kata. Untuk memberkahinya dalam
mencapai budi luhur yang terbaik. Serta siapa pun yang berusaha dengan
kesungguhan hati pasti akan memetik hasilnya, mendapat anugerah pakaian
kerajaan. (Hakikat pengabdiannya diterima dan mendapat kedudukan sebagai
narapraja, serta menerima anugerah pakaian beserta kelengkapannya dari raja)
58
Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga
dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi
marang kang momong.
(Pada akhirnya perihal sembahyang kalbu
(berdzikir), bila berlangsung secara teratur dapat dijadikan penghayatan.
Penghayatan agung yang dimiliki raja, bila ilmu yang telah dikuasai dengan
tepat, akan mengetahui pada pengasuhnya (gaib)
59
Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring
hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetetp talaten atul, tuladhan
marang waspaos.
(Mensucikan diri tidak menggunakan air,
namun dengan cara mengurangi keangkaraan hati. Permulaannya harus secara
teratur cermat dan berhati-hati, karena telah terbiasa tekun tidak mudah
tergoda. Merupakan teladan menuju kearifan)
60
Mring jatining pandulu, panduk ing ndon
dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing
alam kinaot.
(Yang mengarah pada penglihatan sejati,
dalam berusaha untuk mencapai tujuan yang nyata. Apabila benar-benar taat menjalankan
azas, oleh sesuatu hal dan ketentuannya. Maka terbukalah alam yang indah dengan
sangat jelas sekali)
61
Yen wus kambah kadyeku, sarat
sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling, Ilanging
rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.
(Apabila telah menghayati seperti
tersebut di atas, selanjutnya harus dapat memenuhi syarat penghayatan, antara
lain sabar, , tenang dan sadar. Bersamaan dengan hilangnya segenap rasa, di
mana akan terasa dengan jelas peri keadilan Tuhan Yang Maha Esa)
62
Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun
mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den
emut, mring pamurunging lelakon.
(Kegagalannya bila selalu menuruti
kemauan hati, dan tidak mengharapkan terpenuhinya segala keinginan. Jenis
gagasan apabila terus-menerus dituruti akan menyebabkan kegagalan, karena itu
waspada dan sadarlah, akan hal-hal yang menggagalkan perjalanan laku (dalam
menuntut ilmu)
63
Samengko kang tinutur, sembah katri
kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun
kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.
(Nantinya yang akan terucapkan, adalah
sembahyang ketiga yang pasti dipersembahkan, kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
dengan khusuk setiap harinya. Maka resapkan dan capailah, sembahyang dalam hati
(berdzikir) lebih mencakup pada kebenaran, putraku!
64
Sayekti luwih prelu, ingaranan
pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut,
mring alame alam amot.
(Sangat penting untuk diketahui,
sebagai pengamalan terakhir. Adalah perbuatan yang berkaitan dengan segi olah
batin, agar kesucian tetap terjaga dan selalu ingat, akan keadaan alam baka)
65
Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut
triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel
kulup, mring kelaping alam kono.
(Tenggelamnya dengan membawa rasa
bersalah, atas firasat gaib dalam keadaan larut. Kejadian tersebut merupakan
suatu kenyataan, anakku! Karena sesungguhnya tidak akan selalu ingat, bahwa kebenaran
tidak akan dapat terpadu)
66
Keleme mawa limut, kalamatan jroning
alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan
bisa awor.
(Tenggelamnya dengan membawa rasa
bersalah, atas firasat gaib dalam keadaan larut. Kejadian tersebut merupakan
suatu kenyataan, anakku! Karena sesungguhnya tidak akan selalu ingat, bahwa
kebenaran tidak akan dapat terpadu)
67
Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring
panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang
katon tinonton kono.
(Ketika dalam keadaan antara sadar dan
tidak, yang harus serba tenang seiring keadaan yang menghanyutkan. Asalkan
tetap waspada yang kewaspadaannya dapat diandalkan, tidak lain hanyalah
pribadinya sendiri, yang tampak memperlihatkan diri)
68
Nging aywa salah surup, kono ana
sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya
kartika katongton.
(Namun jangan sampai salah masuk,
karena di sana ada cahaya sejati. Yaitu cahaya utama yang menghidupi nurani,
menerawang bersinar berkilauan, layaknya terlihat laksana bintang)
69
Yeku wenganing kalbu, kabukane kang
wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku,
mring kang pindha kartika byor.
(Sehingga terbukanya kalbu, telah
terbuka baik yang menguasai maupun yang dikuasai. Wilayahnya telah tercakup
dalam diri pribadi, tetapi diri pribadinya pun dikuasai pula, oleh yang
menyerupai bintang cemerlang)
70
Samengko ingsun tutur, gantya sembah
ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh,
mung kalawan kasing Batos.
(Kelak penuturan saya, akan berganti
pada sembahyang ke empat. Dengan sembahyang rasa akan terasa hakikatnya
kehdupan, terwujudnya sudah tanpa memerlukan petunjuk, hanya tinggal
menggunakan kekuatan batin semata-mata)
71
Kalamun durung lugu, aja pisan wani
ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk,
kalamun wus pada melok.
(Apabila belum mengalaminya, jangan
sekali-kali berani mengaku (seperti hal tersebut di atas). Akan mendapat laknat
atas perbuatan demikian itu, Nak, boleh juga menyombongkan diri, asalkan telah
mengalaminya dengan jelas)
72
Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang
ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut,
den memet yen arsa momot.
(Jelasnya perbincangan tersebut, bila
perasaan yang merisaukan hati telah hilang lenyap. Yang ada hanyalah keyakinan
dan percaya terhadap takdir, karena itu waspadalah dan ingatlah selalu,
seyogyanya telitilah dengan cermat bila hendak mendalami suatu ilmu)
73
Pamoring ujar iku, kudu santosa ing
budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh
wekasing dumados.
(Untuk dapat menguasai makna tersebut,
haruslah memiliki budi yang teguh sentosa. Serta sabar tawakal setulus hati,
sukarela dan kasih sayang, selalu ingat akan “datang perginya” manusia ke alam
asal)
74
Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan
sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur,
hardaning budi kang ngrodon.
(Semua sikap laku, yang dilaksanakan
harus tidak sembarangan. Bertindaklah sewajarnya dan mudah memberi maaf kepada
sesama, yang berbuat kesalahan, karena sikap laku jahat adalah dorongan hawa
nafsu)
75
Dadya wruh iya dudu, yeku minangka
pandaming kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung,
dumunung telenging batos.
Ketahuilah mana yang benar dan salah,
hal itu merupakan pelita hati. Yang membuka dinding penghalang alam gaib, dan
selama itu mengurung di dalam dasarnya batin)
76
Rasaning urip iku krana momor pamoring
sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi
arane ing kono.
(Rasanya hidup itu, karena manunggal
dengan adanya wujud. Segala wujud di alam dunia ini menandakan adanya yang
mewujudkan, seperti antara yang manis dan madu, manakah nama sebenarnya)
77
Endi manis endi madu, yen wis bisa
nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas
kacakup, kasat mata lair batos.
(Manakah yang disebut manis dan manakah
madunya, apabila telah dapat mengurai ilham Illahi, berpadunya jiwa yang luhur.
Dengan menguasai sepenuhnya, dapat melihat dengan mata lahir batin)
78
Ing batin tan keliru, kedhap kilap
liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi
sadu, pandak panduking liru nggon.
(Di dalam batin tidaklah akan keliru,
ilham Illahi yang tampak sekejap dapat dihayati oleh kalbu. Merupakan petunjuk
pendekatan dengan Tuhan, dengan menyelamatkan jiwa kasih sayang, pada kebiasaan
sikap yang berganti tempat)
79
Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh
kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh,
sasmita jatining endhog.
(Bagaimana pun usaha menerima ilham
Illahi, yang menyisihkan tabir itu dapat terlaksana. Hal tersebut ada yang
menggunakan perumpamaan inti sarinya di dalam telur, bahwasanya telur itu
terdiri dari “kuning dan putih”. Kuningnya diibaratkan “batiniah”, adapun putihnya
diibaratkan “lahiriah)
80
Putih lan kuningpun, lamun arsa titah
teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud,
kadadeyane ing kono.
(Putih dan kuningnya telur, apabila
seorang insan terlahir, bagaimana bisa lahirnya menunggal dengan batinnya.
Menurut tata lahiriah mustahil terwujud, maka bagaimana hal tersebut dapat
terjadi?)
81
Istingarah tan metu, lawan istingarah
tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi
kabasturon.
(Batiniah enggan untuk keluar,
sebaliknya lahiriah pun enggan untuk masuk. Namun akhirnya lahiriah menyatu
dengan batiniah, dan batiniah keluar menjadi lahiriah. Maka perhatikanlah
dengan kesungguhan hati, agar jangan sampai terlanjur tidak memahaminya)
82
Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng
saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dhewekw den
anggep dhayoh.
PUPUH V
K I N A N T H I
(Bilamana terlanjur tidak memahaminya,
akan menyesal seumur hidup. Maka hal tersebut akan sia-sialah hidupnya, menjadi
orang hina tanpa berpengetahuan, yang menganggap dirinya adalah tamu)
83
Mangka
kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi
weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.
(Padahal pengetahuan tersebut dapat
tumbuh berkembang, yang senantiasa harus selalu ingat. Ingat akan ilham Illahi
dan ketentuan alam, sehingga laku hidupnya sesuai dengan kehendak Illahi.
Dengan begitu hidupnya dijauhkan dari kesengsaraan, yang harus dijaga selama hidup
di dunia ini)
84
Marma den taberi kulup, angulah
lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas
kahardaning driya, supadya dadya utami.
(Oleh karena itu tekunlah, buyung!
Dalam mengolah ketajaman hati, dengan memohon setiap malam. Untuk dapat
menemukan kebenaran dan berusaha selalu berbuat baik, dengan menyingkirkan
gejolak nafsu, agar menjadi orang yang berbudi luhur)
85
Pangasahe sepi samun, aywa esah ing
salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa
muka, kekes srabedaning budi.
(Dalam mengolah ketajaman hati
seyogyanya di tempat yang sunyi, haruslah jauh pula dari segenap
pemikiran/pamrih. Serta apabila telah merasakan ketajamannya, yang akan dapat
mengikis gunung Reksamuka, dengan segala godaan hawa nafsunya)
86
Dene awas tegesipun, weruh warananing
urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing
sakarsa, gumelar ngalam sakalir.
(Kewaspadaan yang berarti, mengetahui
akan segala halangan hidup, dan kekuasaannya Sang Maha Tunggal, yang siang
maupun malam manunggal. Serta sabda-Nya pun menumbuhkan karsa, keseluruh alam
semesta)
87
Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus
sireki, ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya,
wewesen praptaning uwis.
(Janganlah mengabaikan suara hati, dan
berusahalah selalu mawas diri. Maka kelak akan merasa adanya suara, yang
terucap bukan dari diri pribadi. Oleh karena itu turutilah niat tersebut,
sampai diakhir tujuannya)
88
Sirnakna semanging kalbu, den waspada
ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu
hawa, jinalantih mamrih titih.
(Hilangkanlah rasa ragu di hati, dan
harus selalu ingat pada suara hati. Karena dari sanalah jalannya untuk
mengurangi sedikit demi sedikit, pengendalian hawa nafsu. Dengan membiasakan
mengolah rasa, yang akhirnya akan terbiasa)
89
Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa
kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira,
sambekala den kaliling.
(Janganlah membiasakan berlaku nista,
yang tiada menghasilkan faedah. Dalam kesibukan hidup yang penuh dengan
rencana, sehingga haruslah berhati-hati. Agar dijauhkan dari segala rintangan
dan bahaya, yang senantiasa mengelilinginya.
90
Upamane wong lumaku, marga gawat den
liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung
padhas, babak bundhas anemahi.
(Ibaratnya orang berjalan, harus
melewati jalan yang gawat. Apabila langkahnya tidak terarah, tentu akan
menginjak duri. Yang sialnya lagi akan terantuk batu, sehingga babak belurlah
yang dialaminya)
91
Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen
wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe
kinarya, ngupaya kasil lan melik.
(Jamaklah bila setelah kejadian
tersebut, lalu diobati namun telah babak belur. Walaupun banyak sekali memiliki
pengetahuan, namun tidak melaksanakan sesuai dengan pengamalannya. Tidaklah
akan berguna kemanfaatannya, yang hasilnya akan sia-sia belaka)
92
Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir
wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh
tandha-tandha sepi.
(Berbicaralah selalu hal yang serba
muluk, dan ucapannya pun bagaikan seorang wali. Serta beranggapan dirinya lebih
daripada pendeta, namun kelebihannya pun tidak ada, kesemuanya itu menandakan
bahwa bualan belaka)
93
Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib
baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige,
kang mangkono iku kaki.
(Pengetahuannya hanya pada ucapan
belaka, yang mengetahui banyak perihal alam gaib. Apabila tersinggung dan
dibantah, matanya melotot dan marah, yang menandakan bahwasanya pendeta palsu,
yah seperti itulah adanya, Nak!
94
Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu
sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing
kaardan, amung eneng mamrih ening.
(Adapun namanya olah samadi, merupakan
jalannya ilmu sejati, yang tidak mengenal dendam hati, dan tidak mengenal
jahil. Tidak pula menuruti dorongan keadaan sekitarnya, yang ada hanyalah
bertujuan mendapatkan ketenangan dalam keheningan)
95
Kunanging budi luhung, bangkit ajur
ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener
kawruhira, yen ana kang nyulayani.
(Tersohornya insan yang berbudi luhur,
bilamana dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Hal tersebut merupakan tunas,
yang akan tumbuh pada perbuatan utama. Meskipun pendapatnya benar, akan tetap
menghargai bila ada yang berbeda pendapat)
96
Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen
kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing
liyan, aywa esak aywa serik.
Meskipun yang berbeda pendapat itu,
sesungguhnya telah menyadari penghetahuannya kurang, namun enggan mengalah.
Hendaknya janganlah memperlihatkan ketidaksenangan, agar menyenangkan kesesama
lainnya, tanpa kesal dan tanpa sakit hati)
97
Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing
salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking
cipta, nora ucul-ucul kaki.
(Pertanda anugerah Illahi yang hampir
nampak, akan berlangsung selamanya. Karena datangnya pahala dari Yang Maha Esa,
yang senantiasa diingat dan dirasakan, tanpa akan terlepas, ananda!
98
Mangkono ingkang tinamtu,tampa
nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair
batinnya, iyeku budi premati.
(Demikianlah yang telah dipastikan,
mendapat ridlo dan pahalanya Sang Khalik. Tidak mungkin ananda mendapatkannya,
oleh karena itu sebaiknya berpuralah tidak mengerti. Dalam mengolah lahir dan
batinnya, dengan menyimpan rahasia hati sebaik-baiknya)
99
Pantes tinulad tinurut, laladane mrih
utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana,
lir leluhur nguni-uni.
(Wajiblah untuk dituruti dan
diteladani, perbuatan yang menuju keutamaan. Keutamaan tersebut merupakan bunga
kemuliaan, dan kemuliaan di dalam jiwa pribadi. Tidaklah mungkin akan dapat
menyamai, layaknya para leluhur dahulu kala)
100
Ananging ta kudu-kudu, sakadarira
pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing
tumitah, poma kaestokna kaki.
(Berhasil atau tidaknya ikhtiar
tersebut, tergantung diri pribadi. Tanpa meninggalkan keteladanan, yang bila
tidak demikian. Pastilah hidupmu tidak akan berfaedah. Oleh karena itu,
janganlah tidak diperhatikan atau dilaksanakan, ananda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar